Suatu hari teman penulis mengirim bukti pembayaran pendaftaran lomba marathon sepuluh kilometer di grup WA. Anggota grup WA lainnya mengatakan bahwa ada temannya yang mengomentari lomba lari marathon tersebut.
Ia berkomentar, "Mau capek aja kok bayar." Mungkin yang berkomentar membayangkan betapa lelahnya berlari sepuluh kilometer. Gratis saja ia tidak mau ikut. Apalagi harus bayar.
Perbedaan pandangan bisa terjadi karena berbeda dalam fokus memandang. Yang mengatakan bahwa lomba lari marathon melelahkan fokus kepada "lari sepuluh kilometer". Sedangkan peserta lomba bisa jadi lebih fokus kepada berolah raga, souvenir lomba, semangat persaingan, atau keinginan mengetahui daya tahannya dalam berlari.
Perbedaan Sikap karena Perbedaan Fokus
Perbedaan fokus dalam memandang membuat seseorang mengambil keputusan yang berbeda untuk hal yang yang sama. Misalnya terhadap setangkai bunga mawar berduri.
Bunga mawar memiliki warna yang indah dan bau yang harum. Keindahan dan keharuman mawar membuat bunga ini sering dijadikan nama untuk wanita.
Di sisi lain, setangkai bunga mawar memiliki duri-duri yang tajam yang bisa melukai tangan orang yang memetiknya. Bagi orang yang fokus terhadap durinya, ia tidak suka memetik bunga mawar. Ia khawatir tangannya akan tertusuk duri.
Bagi orang yang fokus terhadap keindahan dan keharumannya, ia tidak memperdulikan duri bunga mawar. Bukan berarti ia tidak melihat durinya. Tapi ia berpikir bahwa risiko tertusuk duri akan terbayarkan dengan keindahan dan keharuman mawar yang ia dapatkan. Bunga mawar yang mempesona membuatnya mengambil keputusan untuk tetap memetik bunga mawar meskipun tertusuk duri.
Perbedaan dalam mengambil keputusan juga dipengaruhi dari seberapa dalam cara berpikir seseorang. Ada yang menganalisa dan melakukan mitigasi risiko dengan detil. Ada yang hanya menganalisa sekedarnya yang tampak dipermukaannya saja.
Ada shahabat penulis yang telah menjadi guru selama beberapa puluh tahun. Ia mengatakan bahwa anak-anak yang tidak terlalu pintar biasanya diberikan kelebihan keberanian. Sebaliknya anak-anak yang pintar biasanya relatif lebih penakut daripada anak yang tidak terlalu pintar.
Pengalamannya selama menjadi guru, ia memperhatikan perbedaan prilaku anak didiknya. Ketika ada pohon yang tinggi, biasanya yang sering memanjatnya adalah anak yang tidak terlalu pintar. Anak yang pintar biasanya tidak mau memanjat karena takut.
Menurutnya alasan yang mungkin adalah anak-anak yang pintar biasanya memiliki analisa yang mendalam. Ia akan menganalisa risiko-risiko yang muncul jika memanjat pohon. Ia akan menganalisa kemungkinan dahannya patah karena tidak tahan menahan berat tubuh.
Ada kemungkinan di balik batang pohon yang terlihat kokoh tersebut tersimpan kerapuhan di dalamnya. Ia juga menganalisa jika kakinya terpeleset atau tangannya terlepas. Dan banyak analisa lainnya yang membuatnya takut memanjat pohon tersebut.
Ketika anak-anak berada di pinggir sungai, biasanya anak-anak yang tidak terlalu pintar langsung terjun ke sungai. Sedangkan anak-anak yang pintar masih berpikir jangan-jangan di sungai tersebut ada ularnya. Jangan-jangan ada bagian yang dalam. Jangan-jangan ada pecahan kaca di dalam air yang tidak terlihat.
Bagaimana kalau tiba-tiba ada air bah dari hulu yang bisa menenggelamkan? Setelah anak-anak pemberani sudah berada di dalam sungai dengan aman, barulah anak-anak yang pintar berani turun ke sungai.
Teman penulis yang menjadi guru tersebut mengatakan bahwa Allah SWT Maha Adil dengan memberikan kelebihan untuk anak yang pintar tetapi juga memberikan kelebihan lainnya kepada anak yang tidak terlalu pintar. Beliau bercanda, “Kalau semua anak pintar, lalu siapa yang mau kita suruh naik pohon kelapa? Nggak ada anak yang berani, takut semua.”
Perbedaan Pandangan terhadap Dunia
Perbedaan dalam cara mengambil keputusan juga disebabkan oleh kemampuan seseorang untuk menahan keinginan untuk menunda kenikmatan. Ia menunda menikmati sesuatu agar di masa mendatang mendapat hasil yang maksimal.
Ibarat memetik buah setelah matang. Jika buah dipetik masih dalam keadaan masih hijau, mungkin enak walaupun sedikit mengkal atau masam. Namun, jika mampu menunggunya sehingga masak, rasanya akan lebih enak dan ukurannya lebih besar.
Beberapa orang menabung dan berinvestasi dengan membeli emas, saham, rumah, dan lain-lain. Mereka menahan diri menggunakan uangnya untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal di masa depan.
Mereka siap “menderita” karena harus mencicil angsuran pembelian barang-barang investasi. Ketika aset yang mereka investasikan berkembang, mereka memiliki uang yang banyak bahkan beberapa kali lipat daripada orang-orang yang memilih untuk menikmati uangnya di masa sekarang.
Orang-orang yang memilih untuk menikmati uangnya sekarang mendapatkan keuntungan berupa kenikmatan di masa sekarang. Mereka memilih merasakan kebahagiaan saat ini. Meskipun mereka tahu bahwa jika uang tersebut ditabung atau diinvestasikan bisa memberikan keuntungan yang lebih banyak.
Lalu apakah mereka yang memilih untuk menikmati uangnya di masa depan tidak merasakan kebahagiaan saat ini. Mereka juga mendapatkan kebahagiaan karena pikiran mereka fokus kepada keuntungan yang akan didapat di masa depan.
Mereka juga bahagia karena memiliki perasaan aman sebab memiliki dana cadangan. Kesabaran mereka menahan keinginan selain memberikan keuntungan yang besar juga memberikan rasa nyaman berupa keamanan.
Kemampuan jiwa menahan keinginan untuk mendapatkan kebaikan atau keuntungan di masa depan merupakan salah satu kecerdasan emosi. Hasil penelitian Daniel Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan emosi menjadi kunci sukses seseorang. Kesuksesan seseorang delapan puluh persen disebabkan oleh kecerdasan emosi (EQ). Sedangkan kecerdasan otak (IQ) hanya menyumbang dua puluh persen saja.
Salah satu ibadah yang melatih kemampuan seseorang dalam mengelola keinginannya adalah ibadah puasa. Orang berpuasa menahan makan dan minum serta berhubungan suami istri yang sebenarnya halal di saat berpuasa. Orang berpuasa berlatih menahan keinginannya sampai tiba saatnya ia akan mendapatkan kebahagiaan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan saat bertemu Tuhan mereka. (HR. Bukhori dan Muslim)
Orang berpuasa bergembira saat berbuka karena rasa lapar dan dahaga yang ia rasakan membuat makanan dan minuman terasa nikmat. Ia juga berbahagia karena telah menunaikan ibadah yang dijanjikan imbalan oleh Allah SWT ketika berbuka puasa. Namun, ketika ia bertemu dengan Tuhannya, ia kembali bergembira karena ternyata imbalan yang diterimanya sudah tentu lebih dahsyat daripada yang mampu dipikirkan oleh akalnya.
Seorang ustadz mengatakan bahwa seandainya pengurus suatu masjid mengumumkan bahwa barang siapa yang ikut sholat shubuh berjamaah besok akan diberi uang dua ratus ribu rupiah, niscaya masjid tersebut akan dipenuhi masyarakat. Saat ini jumlah orang yang sholat shubuh sangat sedikit.
Padahal imbalan yang dijanjikan Rasulullah SAW untuk orang yang sholat shubuh berjamaah lebih besar daripada uang dua ratus ribu rupiah. Jangankan sholat shubuh, sholat sunah shubuh (sholat sunah fajar) saja nilainya lebih baik daripada dunia dan seisinya Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dua rakaat shalat fajar lebih utama dari dunia dan seisinya(HR. Muslim)
Kenapa orang lebih tertarik dengan imbalan dua ratus ribu rupiah dibandingkan kekayaan berupa dunia dan seisinya? Karena banyak yang lebih fokus kepada kenikmatan dunia daripada kenikmatan akhirat.
Dunia tampak di depan mata, sedangkan akhirat tidak terlihat. Hari pembalasan yang sangat dahsyat di akhirat tidak mampu memalingkan pandangan kepada kemilau dunia.
Gemerlap dunia telah menipu banyak orang sehingga melupakan akhirat. Jika mau diteliti lebih lanjut, lebih banyak orang yang menghabiskan waktu, tenaga, dan uangnya untuk mendapatkan kenikmatan dunia daripada kenikmatan di akhirat. Ini akibat dari gagal fokus terhadap akhirat.
Wallahu a’lam bisshowab
Posting Komentar