Suatu hari Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah bani Umayyah, batal memberikan hukuman kepada seseorang. Ia tidak jadi memukul seseorang yang seharusnya memang layak untuk dipukul.
Seseorang menanyakan alasan Umar bin Abdul Aziz tidak jadi memberikan pukulan. Umar menjawab, “Terlintas di hatiku rasa marah terhadapnya dan aku tidak mau memukulnya dalam keadaan marah kepadanya.”
Sanksi pukulan yang dilaksanakan dalam keadaan marah sangat rawan untuk dipengaruhi setan. Tujuan pukulan yang semula untuk memberikan efek jera, dengan bisikan setan, bisa berbelok menjadi pelampiasan kemarahan. Akibatnya pemukulan dilakukan dengan keras dan bisa membahayakan.
Tujuan pemberian pukulan adalah untuk mendisiplinkan peraturan. Pukulan diberikan untuk memberikan efek jera yang membuat pelakunya tidak akan mengulanginya lagi. Pukulan diberikan tetap dalam koridor kasih sayang dan mengharapkan kebaikan buat penerima pukulan.
Target dari sanksi bukan untuk melukai tubuh tetapi untuk mengetuk hati agar tersadar akan kesalahannya. Seperti pepatah, “Engkau melemparku dengan bunga. Kulitku tidak tergores, tetapi hatiku terluka.” Target hukuman memberikan efek penyesalan di dalam hati, bukan efek luka.
Penerima Sanksi harus mengetahui tujuan dari Hukuman
Sanksi disiplin diberikan jika dirasa bahwa sanksi tersebut bisa menghentikan pelanggaran. Oleh karenanya, penerima hukuman harus memahami dengan jelas maksud dari sanksi tersebut.
Pentingnya penerima saksi memahami maksud hukuman bisa difahami dari hadits Nabi Muhammad SAW. Beliau melarang memukul anak yang belum berusia sepuluh tahun. Beliau bersabda:
Perintahlah anak-anak kalian untuk mendirikan sholat ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika mengabaikan sholat) pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Dawud)
Sholat adalah hal yang penting. Namun, anak di bawah umur sepuluh tahun, akalnya masih lemah sehingga masih sulit untuk mengalahkan nafsu malas mengerjakan sholat. Kekuatan emosi lebih dominan dari pada kekuatan akal.
Pukulan kepada anak yang belum berumur sepuluh tahun bisa sangat mempengaruhi jiwa. Yang bisa dilakukan adalah mengajak, menyuruh, menegur, dan memarahi mereka untuk melakukan sholat.
Anak yang belum berumur sepuluh tahun yang malas mengerjakan sholat, perlu dibujuk dengan diberi fasilitas kenikmatan agar mengerjakan sholat. Mereka belum layak dipukul sebagaimana hadits Rasulullah SAW di atas. Hukuman yang bisa dilakukan adalah sekedar menyita hadiah atau mainannya jika tidak mengerjakannya.
Strategi dalam bentuk hadiah dan hukuman perlu dijalankan untuk mendisiplinkan. Pada fase awal, strategi hadiah lebih diutamakan untuk digunakan. Jika tidak mempan juga, barulah hukuman digunakan.
Waktu sejak umur tujuh tahun sampai berumur sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup. Ia sudah tiga tahun mendapat perintah sholat dengan tegas. Waktu yang cukup untuk memikirkan pentingnya sholat.
Ia sudah layak untuk dipukul jika tetap tidak mau mengerjakan sholat. Tentu dengan pukulan kasih sayang. Pukulan yang disertai doa agar ia mau mengerjakan sholat.
Hadiah dan Hukuman
Mekanisme mendidik anak sholat yang dimulai dengan bujukan kenikmatan yang dilanjutkan dengan hukuman sesuai dengan fitrah manusia. Manusia bisa dikendalikan dengan reward and punishment.
Guru KH. Muhammad Bakhiet, ulama keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, di dalam salah satu ceramahnya menjelaskan cara Allah SWT menarik manusia agar mendekat kepadaNya. Allah SWT menggunakan kenikmatan dan bala (ujian kesedihan) untuk menarik manusia.
Allah SWT menarik hambaNya dengan kenikmatan dan bala, seperti orang tua yang memberikan hadiah dan hukuman untuk mendidik anaknya agar berbakti. Namun, Guru Bakhiet menjelaskan, Allah SWT mengutamakan dengan cara memberi kenikmatan agar manusia mendekat kepadaNya.
Manusia diberi kenikmatan yang banyak agar lebih mudah mencintai Allah SWT. Cinta akan mudah tumbuh jika seseorang menerima kebaikan yang banyak. Seperti anak yang mencintai ibu yang telah bertubi-tubi memberi kebaikan. Ibu memberi kebaikan mulai dari air susu, belaian lembut, pelukan mesra, panggilan sayang, dan tatapan cinta.
Tidak Mampu Memahami Hadiah Kenikmatan
Allah SWT yang memberikan nikmat yang bertubi-tubi kepada manusia agar manusia mudah mencintaiNya. Permasalahannya, kenapa manusia tidak merasakan nikmat tersebut. Padahal saking banyaknya nikmat, manusia tidak akan dapat menghitungnya. Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl ayat 18)
Manusia tidak merasa mendapat nikmat yang banyak dari Allah SWT karena beberapa hal. Di antaranya adalah kenikmatannya berlangsung terus-menerus dan melimpah sehingga tidak dirasakan lagi sebagai kenikmatan. Contohnya kesehatan. Karena setiap hari badannya sehat, manusia tidak merasa bahwa kesehatan adalah nikmat yang besar.
Nikmat makanan dan minuman juga kurang disadari oleh kebanyakan manusia. Coba seandainya manusia selama berhari-hari tidak mendapat makanan. Di saat itulah ia akan sadar bahwa makanan yang sederhana sekalipun adalah kenikmatan.
Sebab lainnya yang membuat manusia tidak bisa melihat nikmat Allah SWT adalah lemahnya pengetahuan hakikat. Ia tidak bisa melihat bahwa nikmat yang ia terima, hakikatnya berasal dari Allah SWT.
Saat dokter mengobati dirinya, ia merasa bahwa dokterlah yang telah memberikannya kesehatan. Ia lupa bahwa Allah SWT yang telah membuat ia kembali sehat.
Saat terluka, dokter hanya menjahit luka. Yang menyembuhkan luka dan merapatkan kulit sehingga menyatu kembali adalah Allah SWT. Jika Allah SWT berkehendak, luka tersebut tidak akan sembuh bahkan bernanah dan mengalami infeksi. Meskipun dokter menggunakan antibiotik, bakteri tidak akan mati tanpa seijin Allah SWT.
Semua kenikmatan yang diterima manusia, seperti kenikmatan bayi yang mendapatkan kasih sayang dari ibunya, pada dasarnya juga berasal dari Allah SWT. Allah SWT memberikan kelembutan pada hati ibu, sehingga ibu mencintai anaknya. Kalau ada manusia yang mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapat nikmat dari Allah SWT, ia perlu belajar ilmu hakikat dengan serius.
Apa konsekuensi yang diterima oleh orang-orang yang tidak mau mencintai dan mendekat kepada Allah SWT meskipun telah diberi kenikmatan yang banyak? Tentu ia akan mendapatkan cara berikutnya. Ia akan ditarik mendekat kepada Allah SWT dengan cara mendapat bala bencana.
Penderitaan yang diberikan kepada manusia digunakan Allah SWT agar manusia ingat kembali kepada Allah SWT. Saat manusia telah putus harapan dan tidak sanggup lagi menahan derita, manusia akan memohon kepada Allah SWT.
Ia akan bersimpuh, menengadahkan tangan, dan menyebut nama Allah SWT untuk meminta belas kasihNya. Ia akan kembali bersujud setelah mendapat “pukulan” sayang dari Allah SWT.
Jika seseorang disuruh memilih, apakah mau mendekat dengan mendapatkan kenikmatan atau mendekat dengan mendapat hukuman, tentu semua akan memilih dengan kenikmatan. Lalu kenapa ada orang-orang yang memilih mendapat “pukulan”? Ibarat anak yang disuruh sholat, kenapa menunggu umur sepuluh tahun sehingga mendapat pukulan? Anda pilih yang mana?
Wallahu a'lam bishshowab
Posting Komentar