UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Uluran Kasih Sayang untuk Sang Fakir



“Bunda, aku mandi pakai sampo, harum. Cium aku Bun.” Kata anak penulis saat masih kecil. Bahasa cinta dia memang sentuhan fisik. Baginya, ungkapan cinta adalah sentuhan. Itu sebabnya ia senang dipeluk dan dicium.

Saat anak-anak kecil, penulis sering repot kalau menyuruh mereka mandi memakai sampo. Mereka malas mengeramas rambut karena sampo yang mengenai mata terasa perih. Bahkan ada yang tubuhnya harus dibungkus handuk, kemudian dibaringkan di pangkuan agar sampo tidak mengenai mata.

Sudah tabiat anak-anak, semakin belia, semakin repot memandikannya. Anak umur SD cukup dilempar handuk, bisa mandi sendiri. Anak TK terkadang harus dibuatkan air hangat jika cuaca terasa dingin. Anak balita harus dibantu menggosok bagian tubuh yang tidak dapat ia jangkau.

Anak bayi paling susah proses memandikannya. Bukan hanya harus disediakan air hangat, handuk yang lembut, dan sabun yang khusus. Ia juga harus dibantu menggosok seluruh tubuhnya. Melakukannya harus dengan lembut karena masih lemah bagian-bagian tubuhnya.

Semakin belia anak, semakin banyak bantuan yang harus diberikan. Semakin besar anak, semakin mandiri dan tidak senang dibantu. Jika dibantu, anak justru protes dan berkata, “Aku bisa sendiri.” Ia merasa dengan melakukan sendiri hasilnya bisa lebih cepat dan lebih baik.

Anak yang merasa sudah mengetahui cara melakukan sesuatu, jika diberitahu dengan detil cara melakukannya, mereka justru merasa tidak nyaman. Mereka akan berkata, “Aku sudah tahu caranya.” Tentu mereka tidak perlu dibantu. Buat apa dibantu kalau merasa tidak butuh bantuan.

Semakin Membutuhkan Bantuan, Semakin Deras Bantuan

Konsep merasa semakin tidak membutuhkan, semakin tidak perlu dibantu juga berlaku pada hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang merasa tidak membutuhkan Tuhan dan tidak pernah mengangkat tangannya untuk berdoa buat apa dibantu. Kesombongannya merugikan diri sendiri.

Manusia-manusia yang sangat tergantung kepada Tuhan adalah manusia-manusia yang beruntung. Mereka mampu melihat bahwa mereka sangat membutuhkan Tuhan sehingga mereka sangat tergantung dan terus mengharap Rahmat dari Tuhan.

Manusia sebenarnya lemah dan bodoh. Namun, manusia banyak yang tidak merasakan kelemahannya tersebut. Allah SWT berfirman:
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu (dalam syariat), dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa ayat 28)
Saking lemahnya, untuk mengatur tubuhnya saja manusia tidak mampu. Membuat jantung berdetak, menumbuhkan rambut, mencerna makanan, membunuh bakteri, menyaring darah yang kotor saja manusia tidak mampu melakukan sendiri. Ia membutuhkan Allah SWT yang terus membantunya untuk hidup.

Ketika pembuluh darahnya pecah dan membanjiri otaknya (stroke) ia akan kehilangan kemampuannya . Ia menjadi lumpuh, buta, tuli, bahkan tidak mampu lagi mengingat hal yang sudah terjadi. Mereka yang merasakan bantuan Allah SWT untuk hidup, akan selalu merasakan ketergantungannya kepada Allah SWT.

Manusia Membutuhkan Bantuan dalam Segala Hal

Dalam bertahan hidup saja mereka sangat bergantung kepada Allah SWT. Apalagi untuk urusan yang besar seperti petunjuk hidup, rezeki, keamanan, dan lain-lain. Karena mereka mengakui dan merasakan kelemahannya, maka mereka selalu mendapatkan pertolongan Allah SWT.

Manusia yang sombong dan merasa bercukupan, biasanya tidak merasa menjadi hamba Tuhan. Contohnya adalah Firaun yang merasa memiliki kekuasaan yang besar. Bahkan ia merasa layak menjadi Tuhan. Padahal sebesar dan sekaya apapun kerajaan, jika Allah SWT tidak menurunkan hujan, tidak ada artinya lagi kerajaan yang ada.

Sebagaimana anak yang semakin belia semakin mendapat pertolongan dari orang tuanya, demikian juga dengan manusia. Semakin manusia merasa lemah dan membutuhkan bantuan Tuhan, maka semakin besar bantuan Tuhan.

Manusia yang betul-betul menjadi hamba Allah SWT adalah manusia yang merasa dirinya fakir. Posisi fakir berada di bawah miskin. Fakir betul-betul tidak memiliki apa-apa.

Seseorang yang memiliki makanan sedikit dan tidak mencukupi maka ia dikategorikan miskin. Sedangkan fakir tidak memiliki makanan sama sekali.

Seseorang yang memiliki peralatan yang jelek kualitasnya dan murah harganya maka ia dikategorikan miskin. Sedangkan fakir tidak memiliki peralatan sama sekali.

Seseorang yang merasa bahwa harta yang ia miliki adalah titipan dan sesungguhnya semuanya milik Allah SWT berarti telah menganggap dirinya fakir di hadapan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Hai manusia, kamulah yang fakir (berkehendak) kepada Allah; dan Allah Dia- lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. Fathir ayat 15)
Begitu juga dengan orang yang merasa bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk beribadah kecuali karena Allah SWT yang memberikan bantuannya maka ia telah fakir di hadapan Allah SWT. Karena ia mengakui kelemahannya, maka Allah SWT akan membantunya.

Ada yang mengandalkan otaknya untuk mencari jalan yang menurutnya terbaik. Orang yang fakir, merasa bahwa banyak sekali yang tidak ia ketahui. Ia mengakui adanya hal-hal yang di luar kemampuan otaknya. Yang buruk bisa saja terlihat baik, yang salah bisa saja terlihat benar, begitu juga sebaliknya.

Banyak hal-hal yang begitu samar sehingga ia merasa sangat membutuhkan petunjuk Allah SWT. Tentu saja sang fakir ini akan lebih terarah kehidupannya karena selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Seperti bayi yang terus mendapatkan pertolongan dari orang tuanya.

Fakir akan Berterimakasih kepada Penolongnya

Apa efeknya bagi orang yang merasa dirinya fakir terhadap Allah SWT? Selain merasakan kedekatan diri dengan Allah SWT, ia tidak akan sombong dengan ibadah yang ia lakukan. Ia merasa bahwa ibadah yang ia lakukan karena pertolongan Allah SWT. Ia merasa mampu beribadah karena taufik, hidayah, dan inayah Allah SWT.

Begitu juga saat bersedekah. Orang yang merasa fakir dan merasa bahwa harta hanyalah titipan Allah SWT tidak akan merasa ujub saat memberikan hartanya kepada orang lain. Ia yakin bahwa harta tersebut hanya titipan milik Allah SWT yang diberikan kepada orang lain melalui tangannya.

Ia merasa tidak memiliki harta karena setiap saat ia yakin bahwa Allah SWT bisa mengambil kembali semua harta yang ada di tangannya dengan mudah. Semuanya milik Allah SWT dan ia hanya mendapat hak untuk memakainya saja.

Ketika orang yang mendapat sedekahnya mengucapkan terima kasih, ia mengembalikan semua pujian kepada Allah SWT. Ia tidak merasa berjasa dan ingin mengungkit-ungkit sedekahnya karena merasa bahwa ia hanyalah perantara. Sungguh aneh jika ada orang memberikan titipan hadiah kemudian merasa berjasa dan meminta imbalan kepada penerima hadiah.

Konsep merasa fakir akan sulit difahami bagi orang-orang yang meyakini bahwa semua yang terjadi adalah atas kuasa dirinya semata. Ia merasa mendapatkan harta karena kehebatan dirinya tanpa melihat bahwa Allah SWT sebagai pengatur rezeki. Sebagaimana Qorun yang merasa kekayaannya berasal dari kepintarannya berbisnis.

Memilih menjadi bayi dan mengakui kelemahan diri akan menjadikan seseorang menggantungkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Ia bahkan tidak bergantung kepada kekuatan dirinya. Ia hanya bergantung kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan apapun juga. Inilah kemurnian tauhid sejati.

Wallahu a’lam bishshowab.
Lebih lamaTerbaru

1 komentar

Translate