Di dalam salah satu ceramah, Gus Baha pernah membahas tentang orang yang sedih karena merasa tidak khusyuk dalam ibadah. Orang yang gelisah karena merasa tidak bisa maksimal dalam beribadah.
Orang yang dalam pikirannya berkutat pertanyaan, "Sepertinya wudhu dan bacaanku tidak sempurna. Apakah sujudku diterima? Bagaimana kalau nanti sujud yang capek-capek saya lakukan ini tidak diterima?
Gus Baha mengatakan bahwa orang seperti ini rentan dibisiki was-was oleh setan. Beliau mengatakan bahwa tidak perlu repot-repot memikirkan apakah ibadahnya diterima atau ditolak. Sebenarnya ditakdirkan bisa bersujud saja itu sudah luar biasa.
Pendapat Gus Baha tentu didasari bahwa tidak semua manusia di dunia ini dipilih Allah SWT untuk bisa bersujud. Bahkan yang sudah tahu manfaat dari sujud saja belum tentu mau bersujud.
Menurut Gus Baha lebih baik fokus bersyukur karena bisa bersujud daripada gelisah apakah sujudnya sah atau tidak. Bersyukur karena diberi kesempatan bersujud adalah ibadah yang menjadi pahala. Was-was apakah sujudnya diterima justru menjadi pintu setan untuk tidak bersyukur.
Di kesempatan lain penulis pernah mendengar ceramah Buya Arrazy Hasyim tentang orang yang berdzikir. Seseorang bisa menyebut nama Allah (dengan tujuan ibadah) itu karena Allah ridho kepadanya. Kalau Allah SWT tidak ridho, maka orang tersebut tidak akan mendapat kesempatan menyebut nama Allah SWT.
Buya Arrazy juga menjelaskan hakikat dari ayat Al-Quran di dalam surah Al-Baqarah ayat 152. Penggalan ayat tersebut adalah "Fadzkuruni adzkurkum (Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian)".
Kalimat tersebut secara tertulis menyebutkan urutannya adalah saat hamba mengingat Allah SWT kemudian Allah SWT akan mengingat hambaNya. Namun, pada hakikatnya Allah SWT lah yang lebih dahulu memberikan hidayah, taufiq dan inayah kepada hambaNya. Pada dasarnya hamba bisa mengingat Allah SWT karena pertolongan Allah SWT.
Jadi saat seorang hamba berdzikir, siapa yang lebih dahulu mengingat? Hamba yang lebih dahulu mengingat Allah atau Allah yang telah memilihnya agar bisa mengingat? Betapa beruntungnya orang-orang yang bisa berdzikir. Pada hakikatnya mereka terpilih menjadi orang-orang yang mendapat ijin menyebut namaNya.
Kenikmatan bersujud, berdzikir dan ibadah lainnya adalah kenikmatan yang luar biasa. Pantas kalau Gus Baha mengatakan bahwa bisa ditakdirkan sujud itu keren. Itu adalah kekayaan yang luar biasa.
Kenapa mampu beribadah itu keren? Tentu jawabnya adalah tidak semua orang mendapatkannya. Ibadah adalah hal yang istimewa sehingga hanya diberikan Allah SWT untuk orang-orang tertentu saja.
Ada hal-hal yang diberikan ke semua manusia, tapi ada juga hal-hal yang tidak semua manusia mendapatkannya. Ini tercermin dalam hadits berikut:
Sesungguhnya Allah membagi-bagi di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana Dia membagi-bagi rezeki kalian di antara kalian. Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang disukai-Nya dan yang tidak disukai-Nya, tapi Dia tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang disukai-Nya. (HR Imam Al-Hakim)Masalahnya banyak orang yang mengira bisa sujud itu tidak terlalu keren. Banyak yang mengira bahwa yang paling keren itu kalau banyak hartanya. Itu sebabnya kehormatan seseorang diukur dengan banyaknya harta. Itu sebabnya cita-cita seseorang itu dipilih berdasarkan urutan profesi yang paling banyak menghasilkan harta.
Padahal di dalam maqoshid syariah, harta berada di urutan yang paling bawah yaitu nomor lima. Bahkan harta masih kalah dengan kesehatan dan anak dalam urutan prioritas yang harus dijaga. ( baca: https://www.lembarnasihat.com/2023/04/gitu-aja-nangis.html?m=1 )
Bisakah bahagia jika memiliki harta yang banyak namun tubuhnya menderita karena sakit? Kekayaan berupa kesehatan lebih rendah daripada kekayaan berupa harta?
Tentu dengan akal yang sederhana saja semua sepakat bahwa kesehatan atau jiwa itu lebih tinggi daripada harta dalam menentukan kebahagiaan. Mereka setuju dengan maqoshid syariah bahwa menjaga kesehatan lebih diutamakan daripada menjaga harta. Semua akan siap mengorbankan harta untuk kesehatan atau keselamatan jiwa.
Akal yang sederhana bisa melihat harta adalah kekayaan yang bisa memberikan kebahagiaan. Namun tidak semua akal mampu menjangkau bahwa agama adalah kunci untuk mencapai puncak kebahagiaan. Agama adalah kekayaan yang tertinggi.
Ulama berkata, "Seandainya para raja mengetahui apa yang kita rasakan, pasti mereka akan merebutnya." İni adalah kalimat yang menjelaskan bahwa kekayaan berupa iman adalah kenikmatan yang tertinggi. Tentu ini hanya bisa difahami oleh ulama cwrdas akalnya dan mengetahui hakikat dari iman.
Keimanan yang memberikan status kepada seseorang sebagai orang beriman adalah kekayaan yang lebih mewah daripada harta. Saat seseorang telah memiliki aset berupa iman, maka ia tidak layak untuk merasa sedih. İa sudah mendapat kekayaan yang luar biasa keren. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (QS. Ali İmran ayat 39)Sungguh ironis jika ada orang beriman dan diberi kesempatan untuk mudah beribadah merasa bersedih gara-gara harta. İa sebenarnya memiliki kekayaan yang sudah tidak memerlukan kegelisahan lagi.
Wallahu a’lam bishshowab



Masya Allah Tabarakallah ustadz
BalasHapus