UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Jalanmu Kurang Jauh

    

Tetangga penulis menceritakan temannya yang berpasangan dan akan segera menikah. Mereka sudah membagikan undangan pernikahan. Menjelang hari pernikahan, pasangan tersebut makan sate bersama. Ketika sate di piring wanita habis, ia mengambil sate di piring kekasihnya kemudian memakannya. Rupanya sang lelaki tidak terima jatah satenya berkurang.

Pernikahan batal. Sang lelaki marah atas prilaku wanita yang mengambil sate di piringnya begitu saja. Ia mengatakan bahwa belum jadi istri saja sudah kurang ajar, bagaimana nanti kalau sudah menikah. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria. Apakah ia memang sengaja mencari pemicu untuk menggagalkan pernikahan yang memang tidak ia inginkan? Atau memang peristiwa tersebut benar-benar membuat dia marah? Apakah ia tidak mengerti bahasa “manja” yang sedang dilakukan kekasihnya?

Bisa jadi si lelaki tersebut mengira bahwa pasangannya bersikap egois. Ia mengira bahwa pasangannya sedang berusaha menunjukkan dominasinya. Padahal bisa jadi pasangannya berusaha mengisyaratkan bahasa cinta. Si wanita ingin mereka menjadi satu kesatuan yang tidak ada lagi “aku dan kamu”. Ia ingin mengubahnya menjadi “kita” yang menjadikan mereka tidak lagi memiliki batasan.

Dalam proses kehidupan suami istri, saling berbagi adalah hal yang wajar. Suami berkewajiban memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Ketika kebutuhan tersebut belum “terpenuhi”, seorang suami yang baik biasanya akan mengurangi jatahnya untuk diberikan kepada istrinya. Dan istri pun akan mengurangi jatahnya untuk diberikan kepada anak-anaknya ketika kebutuhan anak-anak belum mencukupi. Mereka adalah para “pembohong” yang berpura-pura kenyang agar anak mereka terpenuhi keinginannya.

Kondisi ayah atau ibu yang mengalah dalam soal makanan untuk anak-anaknya mungkin tidak ditemukan dalam keluarga yang berkecukupan dan terbiasa dengan makanan yang berlimpah. Perbedaan kondisi bisa menyebabkan terjadinya perbedaan budaya dan kebiasaan. Pertemuan dua budaya yang berbeda bisa menyebabkan keterkejutan yang mengakibatkan munculnya konflik.

Dalam kasus pasangan yang batal menikah di atas, jika si lelaki tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang budaya yang berbeda-beda di masing-masing keluarga, pantaslah ia terkejut. Mungkin ia adalah anak yang tidak pernah melihat ayahnya memberikan lauk yang ada di piringnya kepada ibunya. Pengetahuannya tentang berkeluarga masih belum cukup.

Para ahli mengatakan bahwa semakin banyak ilmu seseorang maka semakin luwes dan fleksibel sikapnya. Semakin luas pengetahuan, seseorang akan semakin mampu menerima dan memahami perbuatan orang lain. Seperti orang yang baru belajar satu madzhab fikih. Ketika ia melihat orang yang melakukan perbuatan yang berbeda dengan yang ia pelajari selama ini, ia akan mengatakan bahwa orang tersebut salah. Namun, saat ia sudah membuka banyak kitab fikih, ia akan bisa menerima jika ternyata apa yang dilakukan orang tersebut ternyata ada dasar hukumnya di kitab madzhab lainnya.

Guru penulis pernah mengatakan bahwa jika anak taman kanak-kanak ditanya berapakah tiga dikurangi lima, ia pasti menjawab bahwa Itu adalah soal yang mustahil untuk dikerjakan. Anak taman kanak-kanak akan bersikeras bahwa soalnya salah sehingga tidak ada jawabannya. Ia merasa bahwa tidak mungkin tiga dikurangi lima karena tiga lebih kecil daripada lima. Ini disebabkan pengetahuan anak taman kanak-kanak belum luas sehingga ia beranggapan bahwa soalnya salah.

Seandainya soal yang sama diberikan kepada anak sekolah dasar, ia akan bisa menjawabnya. Anak sekolah dasar akan menjawab bahwa tiga dikurangi lima hasilnya adalah minus dua. Ia bisa menerima soal tersebut karena sudah memiliki pengetahuan yang cukup.

Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas akan mudah berburuk sangka. Karena perbendaharaan pemahaman kondisi yang tidak mencukupi, ia akan mengira orang lain memiliki kondisi yang sama dengan yang ia miliki. Ia tidak mampu memahami kondisi orang lain yang bisa jadi sangat jauh berbeda dengan dirinya.

Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan yang luas akan lebih mudah berbaik sangka. Ia akan mudah memaafkan orang lain. Ia bisa mencarikan seribu alasan untuk membenarkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan:
Aku melihat Rasulullah SAW menceritakan kisah seorang nabi yang dipukuli oleh kaumnya hingga cedera dan berdarah. Kemudian dia menyeka darah dari wajahnya sambil berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah kaumku. karena mereka tidak tahu. (HR. Bukhari)
Sayyidah Aisyah RA penah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang ujian yang dianggap sangat berat. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa salah satu hal yang sangat membuatnya bersedih adalah saat berdakwah ke Thaif. Nabi Muhammad SAW bersama Zaid bin Tsabit tidak mendapatkan sambutan, tetapi mendapatkan sambitan dari penduduk Thaif.

Nabi bersama Zaid berlari dalam keadaan penuh luka karena lemparan batu penduduk Thaif. Nabi Muhammad SAW bersembunyi di dalam kebun anggur. Sungguh peristiwa yang sangat menyakitkan. Mengajak kepada kebaikan, namun diusir dengan hina. Peristiwa yang juga membuat murka para penghuni langit. Nabi Muhammad SAW menceritakan datangnya malaikat Jibril karena perbuatan penduduk Thaif.
Begitu mengangkat kepala, tiba-tiba sebuah awan menaungiku. Aku pun memandanginya. Ternyata di sana sudah ada malaikat Jibril. Dia memanggilku lalu berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar apa yang kaummu katakan kepadamu. Dia juga mendengar bagaimana jawaban mereka kepadamu. Sekarang, Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu untuk diperintah sesuai keinginanmu terhadap mereka.” Tak lama, malaikat penjaga gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam, lantas berkata, “Wahai Muhammad, sekarang tergantung keinginanmu. Jika engkau mau, aku akan menimpakan dua gunung itu kepada mereka,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan kepedihan dan kesedihan yang dirasakan, tawaran malaikat penjaga gunung untuk membalas perbuatan penduduk Thaif tentu adalah hal yang menarik. Namun, Nabi Muhammad SAW memiliki alasan bagi penduduk Thaif agar mereka tidak mendapat siksa dari malaikat penjaga gunung. Beliau bersabda, “Justru aku berharap dari keturunan mereka, Allah mengeluarkan orang-orang yang menyembah Dia semata, tidak ada yang menyekutukan-Nya dengan apa pun.” Doa Nabi terwujud, akhirnya penduduk Thaif masuk Islam dan menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Perlunya pemahaman yang luas akan memudahkan seseorang untuk bertoleransi. Dr. Aisyah Dahlan, pakar dalam masalah otak menjelaskan perbedaan anatomi otak pria dengan wanita yang menyebabkan karakter yang berbeda. Pria memiliki corpus callosum (serabut saraf yang menghubungkan otak kiri dan otak kanan) lebih tipis dari wanita. Otak kiri dan otak kanan pria bekerja sendiri-sendiri sedangkan wanita dapat menggunakan otak kanan dan kirinya secara bersamaan. Wanita cenderung mampu mengerjakan pekerjaan lebih dari satu dalam satu waktu.

Perbedaan otak wanita dan pria yang berbeda membuat keluhan para istri tentang suaminya umumnya sama. Para istri akan mengatakan bahwa suami mereka kalau mencari barang sulit ketemu. Para istri akan mengatakan bahwa suami mereka tidak mau mendengarkan apa yang mereka katakan. Begitu juga dengan hal-hal lain yang dianggap menjengkelkan oleh para istri.

Perbedaan otak membuat seorang wanita dalam sehari bisa berbicara sebanyak dua puluh ribu kata-kata. Bandingkan dengan lelaki yang dalam sehari hanya berbicara sebanyak tujuh ribu kata-kata. Lelaki yang memahami sifat wanita dengan baik akan lebih mampu mendengarkan istrinya bercerita. Ia tahu bahwa istrinya butuh untuk didengar. Jika ia bertemu dengan temannya yang mengeluh istrinya sering mengomel, ia hanya akan berkata, “Jalanmu kurang jauh, bukumu kurang banyak.”

*Wallahu a'lam bishshowab*

1 komentar

Translate