UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Haram? Buang ke Laut Aja

  

Suatu hari shahabat penulis memesan menu makanan di restoran. Saat dihidangkan ia melihat leher ayam tempat sembelihan hanya disayat sedikit. Dengan profesinya sebagai dokter hewan, ia memahami bahwa proses sembelihannya tidak dilakukan dengan benar. Saluran nafas dan dua urat leher tidak terpotong semua. Bisa jadi ayam tersebut mati bukan karena proses penyembelihan tapi karena dimasukkan air panas atau kehabisan nafas saat ditumpuk-tumpuk.

Sebagai salah seorang auditor di salah satu Lembaga Pemeriksa Halal, ia tahu bahwa ayam tersebut dikategorikan bangkai dan haram dimakan. Terpaksa ia tidak memakan menu yang telah dipesan. Ia lalu menemui orang yang menyembelih ayam tersebut dan menanyakan alasannya. Jawabannya agar bentuknya bagus dan mengundang selera.

Banyak yang tidak peduli dengan kehalalan makanan yang dimakan. Padahal memakan makanan haram sangat merugikan. Makanan haram akan membuat pemakannya menjadi malas beribadah. Tubuhnya terasa berat untuk beribadah. Ibadah yang merupakan kenikmatan justru terasa melelahkan.

Ulama mengatakan pemakan barang haram akan mengakibatkan pelakunya cenderung bermaksiat. Anak-anak yang diberi makan dengan makanan haram berpotensi menjadi anak yang tidak taat kepada orang tua.

Makanan haram juga membuat tidak dikabulkan doa. Nabi bersabda:
"Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku! Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu? (HR Muslim)"
Dalam keadaan musafir, berdoa dengan mengangkat tangan, dan menyebut asma Allah yang Agung seharusnya merupakan kondisi yang membuat doanya mustajab. Namun, karena makanannya haram, doanya tidak dikabulkan.

Hal lain yang sangat penting bagi orang beriman adalah pengenalannya (ma’rifat) terhadap Allah SWT dan RasulNya. Fenomena orang-orang yang memiliki ilmu yang banyak tetapi tidak mampu mencintai Allah SWT dan RasulNya juga bisa disebabkan karena makanan haram.

Dengan ilmunya mereka bisa menjelaskan asma dan sifat Allah SWT. Mereka juga bisa menceritakan sejarah Nabi serta prilaku hidupnya. Namun makanan haram yang ada di tubuhnya menjadi penghalang masuknya cahaya hidayah ke dalam hatinya. Dzikir dan ibadah yang mereka lakukan tidak mampu menimbulkan getaran cinta di dalam hatinya.

Makanan menjadi haram bisa disebabkan dzat yang dikandung di dalamnya, bisa juga disebabkan proses mendapatkannya. Haram karena dzat misalnya minuman keras, babi, atau bangkai. Haram karena proses adalah makanan yang dibeli dari pekerjaan mencuri, menipu atau merampok.

Meskipun pekerjaanya halal, penghasilannya bisa menjadi haram karena perbuatan curang. Seperti contoh yang pernah dilakukan seorang ahli komputer yang merubah data absen kehadiran. Berdasarkan absen kehadiran, ia tidak pernah terlambat meskipun ia tidak pernah menempelkan sidik jarinya di mesin absen (finger print). Dengan kemampuannya, ia bisa memasukkan jam hadir dan pulang langsung ke komputer yang menyimpan data dari mesin absen.

Perbuatannya akhirnya diketahui ketika mesin absen tersebut rusak. Tidak ada yang bisa absen pada hari itu. Namun, berdasarkan data yang ada, ahli komputer tersebut hadir dengan tepat waktu. Bagaimana mungkin ia bisa absen sedangkan mesinnya saja rusak?

Ahli komputer tersebut mungkin tidak merasa bahwa ia tidak pernah memakan barang haram. Mungkin ia selalu membeli makanan yang secara kandungan halal untuk dimakan. Namun, ketika ia terlambat masuk kantor, seharusnya gajinya dipotong. Karena gajinya utuh dengan kecurangan, maka uang yang tidak dipotong itu menjadi uang haram. Ketika uang tersebut dibelikan makanan yang halal, maka makanan tersebut menjadi haram karena prosesnya.

Lawan dari makanan yang haram adalah makanan yang halal yang membawa keberkahan. Makanan ini bisa menjadi obat bagi tubuh, pikiran dan hati pemakannya. Apalagi memakannya dengan berdoa dan mengikuti adab makan yang diajarkan Rasulullah SAW.
"Ibnu Abbas menceritakan bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi Muhammad SAW:
“Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya.” (HR. At-Thabrani)"
Saat Imam Syafi’i menginap di rumah gurunya Imam Malik, putri Imam Malik menanyakan kepada ayahnya kenapa Imam Syafi’i banyak sekali makannya. Orang se-sholeh dan se-faqih Imam Syafi’i rasanya tidak layak makan berlebih-lebihan sebagaimana anjuran dalam Al-Quran. Imam Malik menyuruh Imam Syafi’i menjelaskan alasannya.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa ia yakin makanan yang ada di rumah Imam Malik dijamin kehalalan dan keberkahannya. Ia sengaja makan banyak karena mengharapkan keberkahan makanan yang ada di rumah Imam Malik. Baginya makanan dari Imam Malik adalah obat.

Seperti air sungai yang kotor karena banyak yang membuang sampah ke sungai. Jika sampah tidak lagi di buang, maka sungai lama-lama akan menjadi bersih kembali. Aliran air dari gunung yang murni akan membuang sampah sungai ke laut. Setiap hari banyak sel-sel tubuh yang mati dan harus diganti. Sel-sel tubuh yang mati yang berasal dari makanan haram bisa digantikan oleh sel-sel yang tumbuh dari makanan halal.

Orang yang menjaga keberkahan hartanya tidak cukup dengan sekedar mencari pekerjaan halal. Ia juga harus mengeluarkan zakat agar hartanya lebih bersih dan berkah. Allah SWT berfirman:
"Ambillah zakat dari harta mereka (guna) mensucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketentraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah ayat 103)"
Ulama menjelaskan mengapa harta yang berasal dari pekerjaan halal tetap harus dibersihkan dengan zakat. Meskipun pekerjaannya halal, bisa jadi ada unsur-unsur haram yang tidak sengaja masuk ke dalam penghasilannya. Berdagang adalah profesi halal. Namun, bisa jadi pedagangnya tidak sengaja salah dalam menimbang sehingga merugikan pembeli.

Menjadi aparat negara adalah pekerjaan halal. Namun bisa jadi ada kebijakan yang tidak sengaja mendzhalimi orang lain. Bisa jadi ia terpaksa menggunakan jam kerja kantor untuk urusan pribadi yang tidak bisa dihindarkan. Oleh karenanya ada penghasilannya yang mengandung unsur haram 

Ada teman penulis yang membeli kertas atau peralatan (staples, lem, gunting) untuk kantor. Ia mengatakan untuk membayar fasilitas kantor yang ia gunakan untuk keperluan pribadi yang sulit  ia hindari. Terkadang ia perlu mencetak berkas pribadi di kantor. Pernah juga ia terpaksa menelpon pribadi dengan menggunakan telpon kantor. Waktu itu belum ada yang punya HP. Orang harus pergi ke wartel untuk bisa menelpon.

Ada juga yang mengembalikan fasilitas negara yang dipakai dengan cara tidak mengklaim sebagian biaya perjalanan dinas. Sebagian kuitansi dari biaya perjalanan dinas tidak diberikan ke bendahara dengan alasan untuk mengganti fasilitas negara yang ia pakai.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah bekerja sampai malam di kantor. Ketika anaknya datang, ia bertanya apakah kedatangannya untuk urusan keluarga atau urusan negara. Anaknya bertanya apa bedanya. Beliau mengatakan bahwa minyak lampu yang digunakan di kantornya dibeli dengan uang negara. Jika yang dibicarakan adalah urusan keluarga, ia akan mematikan lampu tersebut karena bukan hak mereka.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Translate