UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Pilih Aman atau Nyaman?

   

Saat mutasi ke kota Samarinda, penulis membeli rumah milik sahabat penulis. Karena bak air di kamar mandinya belum ada, penulis meminta kepada tukang yang mengerjakan untuk membuat bak air yang besar. Luasnya hampir setengah dari luas kamar mandi.

Tujuan penulis dengan bak air yang besar adalah jika PDAM mengalami masalah, cadangan air cukup aman. Selain itu dengan bak air yang besar, jika ada sedikit kotoran yang tercampur, tidak akan menghilangkan sifat mutlak air. Secara fikih, air yang lebih dari dua kulah, jika kemasukan kotoran tetap dianggap suci dan dapat mensucikan asalkan airnya tidak berubah warna, rasa, dan bau.

Semula istri penulis protes dengan besarnya bak air yang besar. Luas kamar mandi menjadi berkurang. Tentu ini mengurangi kenyamanan. Apalagi jika tiba saatnya menguras bak air, melelahkan.

Selang beberapa waktu, setelah beberapa kali PDAM tidak mengalir, baru istri penulis merasakan gunanya memiliki bak air yang besar. PDAM memiliki jadwal rutin untuk menguras tampungannya sehingga tidak melayani pelanggan. Di saat banyak tetangga harus menghadapi hal yang tidak nyaman karena krisis air, kami tidak pernah mengalaminya. Bolak-balik mobil tanki air lewat depan rumah, tetapi kami tidak pernah memesannya untuk mengisi bak air kami.

Aman dari krisis air menjadi salah satu sebab yang membuat Istri penulis mengatakan bahwa rumah kami saat ini adalah rumah yang sangat nyaman. Mungkin ia trauma terhadap krisis air yang dialami di kota sebelumnya yang membuatnya sampai harus menumpang mandi di masjid.

Aman dan nyaman adalah kata-kata yang kadang saling mengeliminasi. Untuk mendapatkan keamanan kadang-kadang mengorbankan kenyamanan. Untuk mendapatkan kenyamanan, kadang-kadang mengakibatkan keadaan menjadi tidak aman. Memakai helm, masker, dan sarung tangan tentulah lebih aman, tetapi mengurangi kenyamanan.

Untuk mendapatkan rasa aman, ada harga yang harus dibayar. Orang yang memiliki banyak harta membayar sekuriti untuk memberikan pengawalan. Untuk menjamin keamanan aset, beberapa orang rela membayar asuransi. Membuat pagar, memasang cctv, menginstal alarm, dan memelihara anjing penjaga adalah pengorbanan untuk memperoleh rasa aman.

Manusia juga memikirkan keamanan keuangan di masa depan. Manusia menabung dan berinvestasi untuk mendapatkan keamanan keuangan di saat usia tua. Menyisihkan uang tentu tidak nyaman karena tidak bebas berbelanja. Namun, keamanan masa depan mengharuskan adanya simpanan cadangan keuangan.

Di sisi lain, ada yang menukarkan keamanan dengan kenyamanan. Mereka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme agar memiliki uang banyak untuk hidup nyaman. Mereka tahu risiko yang harus mereka hadapi. Keamanan mereka terancam, tetapi keinginan mendapatkan kenyamanan yang maksimal membuat mereka tetap melakukannya.

Padahal kenyamanan maksimal yang mereka rasakan hanya sebentar. Seorang pakar tafsir Al-Quran di Indonesia, Gus Baha, dalam ceramahnya menyatakan bahwa ketika seseorang mendapatkan hal yang berharga, itu hanya menambah rasa bahagia beberapa hari saja. Misalnya rasa bahagia membeli mobil mewah. Perasaan sangat bahagia hanya beberapa hari. Setelah itu perasaan menjadi normal kembali. Memiliki mobil mewah terasa adalah hal yang biasa. Baginya mobil mewah adalah barang biasa.

Contoh lain adalah menikah. Di hari pertama pernikahan, seseorang akan sangat bahagia. Namun setelah beberapa hari, perasaaan sangat bahagia itu berkurang. Wanita yang sebelum menikah membuatnya dadanya bergetar, kini menjadi wanita biasa. Ia telah melihatnya setiap hari sehingga gelombang perasaan yang dulu menghempaskan hatinya sudah menjadi riak air biasa.

Mendapatkan kenyamanan dengan melanggar hukum tentu adalah perbuatan yang bodoh. Kenyamanan yang ia rasakan hanya beberapa hari setelah itu perasaannya akan kembali normal. Namun, rasa takut yang ia derita akan berlangsung lama. Bukankah keamanan sebenarnya juga merupakan kenyamanan? Tanyakanlah kepada mereka yang baru saja lolos dari dakwaan kasus pidana. Mereka akan mengatakan bahwa keamanan adalah hal yang paling nyaman dalam hidup.

Jika dalam urusan alam dunia saja banyak sekali yang harus diamankan, lalu bagaimana dengan keamanan di alam akhirat? Salah seorang anak penulis pernah menceritakan salah satu alasan mengapa ia memilih mengikuti jejak kakaknya masuk pesantren. Ia sering mendengarkan ceramah para ustadz di Youtube tentang kehidupan akhirat.

Ia menyatakan bahwa ia memilih untuk mengamankan urusan akhirat lebih dulu sebelum mengamankan urusan dunianya. Pernyataan yang tidak terpikirkan oleh penulis saat masih seusia dia. Pilihan mengamankan urusan akhirat menjadi sebab ia berhasil menyelesaikan hafalan Qurannya. Diharapkan dengan bekal ilmu agama yang sudah diperoleh, ia bisa lebih hati-hati terhadap tipu daya dunia.

Penulis tidak pernah menikmati kehidupan santri sebagaimana yang anak-anak penulis rasakan. Namun, penulis cukup beruntung karena saat kuliah tinggal di dekat toko buku Islam. Toko buku dengan harga miring yang pas dengan kantong mahasiswa. Meskipun tidak sedalam kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, penulis bersyukur bisa membeli buku-buku untuk belajar agama.

Manusia bisa memilih untuk mempelajari ilmu untuk mendapatkan fasilitas dunia atau mempelajari ilmu untuk mendapatkan keuntungan akhirat. Banyak yang mempelajari ilmu kedokteran, pertanian, dan lain-lain untuk mendapatkan keamanan urusan dunia. Setelah mereka memiliki uang yang cukup, barulah mereka belajar agama untuk mengamankan akhirat mereka.

Mungkin sebagian mereka bepikir jika mereka mempelajari ilmu-ilmu agama maka kesuksesan dunia akan terhambat. Jika mereka disibukkan dengan mempelajari aqidah, fikih, dan akhlak lebih dahulu, maka profesinya sebagai dokter, akuntan, birokrat, atau pengusaha bisa tertunda.

Mengutamakan ilmu dunia lebih dahulu baru ilmu agama adalah pilihan. Kedua-duanya ada untung dan ruginya. Jika berumur panjang, kedua-duanya bisa didapatkan. Namun, umur seseorang tidak dapat ditebak. Bisa jadi ada yang tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari keduanya.

Ketika seseorang mempelajari ilmu kedokteran, bisa saja ajal menjemputnya sebelum sempat mengamalkannya. Ilmu kedokteran yang ia pelajari menjadi sia-sia karena tidak sempat diterapkan. Ia belum mendapatkan sepeser rupiah pun dari ilmu yang ia miliki, bahkan ia telah mengeluarkan uang yang banyak untuk mendapatkannya.

Orang yang mempelajari ilmu agama, ketika ajal menjemputnya, ia telah mendapatkan manfaat dari yang ia pelajari. Karena ilmu agama yang berefek dengan keimanan dan akhlak bisa langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan dan ilmu yang ia miliki akan berguna di akhirat. Allah SWT berfirman:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah ayat 11)
Ada yang tidak setuju dengan dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Bagi mereka mempelajari ilmu dunia, seperti ilmu kedokteran atau pertanian, jika diniatkan untuk membantu orang lain bisa bernilai akhirat. Pernyataan yang benar, asalkan niatnya mencari ilmu memang untuk kepentingan akhirat.

Ada ilmu-ilmu agama yang harus dipelajari secara pribadi yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Ilmu aqidah, akhlak, dan ibadah yang bersifat fardhu ain harus dipelajari setiap orang karena pelaksanaanya tidak bisa diwakilkan.

Di media sosial ada video ceramah almarhum Prof. DR. Bacharudin Jusuf Habibie di Kairo tentang pilihan antara imtak (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Beliau berkata:
“Saya sering mengatakan, kalau Allah (berkata), Hei Bacharudin sini. Kamu boleh pilih. Hanya boleh pilih. Imtak atau Iptek? Sekarang pilih, tak boleh dua-dua. Saya sekejap mengatakan, saya Imtak. Tapi Allah, kalau Kamu perkenankan, kasih saya dua-duanya dalam keadaan yang seimbang dan berikan kemampuan saya untuk meningkatkan kedua-duanya sepanjang masa.”
Ilmu dunia dan ilmu akhirat harus dikuasai seluruhnya. Prof. DR. BJ Habibie menguasai ilmu teknologi pesawat terbang. Beliau dijuluki “Mr. Crack” karena menemukan cara menghitung kecepatan keretakan logam sehingga bisa mengantisipasi kecelakaan pesawat. Selain menguasai ilmu teknologi, Habibie juga memiliki ilmu agama yang kuat.

Prof. DR. BJ Habibie adalah contoh orang yang beruntung mendapatkan kesempatan ilmu dunia dan ilmu akhirat. Namun, jika Prof. DR. BJ Habibie diberi pilihan hanya boleh mendapatkan salah satunya, ia akan memilih ilmu yang berkaitan dengan iman dan takwa. Beliau memilih untuk aman di akhirat meskipun berkurang kenyamanannya di dunia.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Translate