UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Sabarlah, Hujan akan Reda

    

Saat masih tinggal di Balikpapan, istri penulis mengajar di sebuah pesantren. Lokasinya cukup jauh dari rumah. Sekitar dua puluh lima kilometer. Namun, karena sudah dijalani setiap hari, perjalanan menuju pesantren tidak terasa jauh.

Ketika penulis mutasi dan pindah dari Balikpapan, ia tidak lagi mengajar. Jika sebelumnya dalam sehari pulang-pergi harus menyusuri jalan sekitar lima puluhan kilometer, kini jarak yang ditempuh hanya dua kilometer saja menuju pasar.

Suatu hari ada undangan yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari rumah. Istri penulis mengeluh lokasi undangannya jauh sekali. Rupanya sudah terbiasa dengan jarak tempuh yang pendek, ia merasa jarak tersebut jauh. Padahal saat masih di Balikpapan, jarak dua puluh lima kilometer adalah jarak yang biasa saja.

Manusia memiliki daya adaptasi sehingga mampu merubah kebiasaan sesuai dengan situasi dan kondisi. Mereka yang tidak terbiasa bekerja keras, bisa berubah dengan dibiasakan. Ini salah satu kenikmatan yang membuat manusia mampu menyesuaikan diri jika ada perubahan yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Jika manusia mendapat musibah, manusia akan merasa sedih. Namun, setelah dijalani selama beberapa lama, rasa tidak nyaman itu akan hilang dan menjadi hal yang biasa. Sejalan dengan berjalannya waktu kepedihan itu akan hilang dan tidak terasa lagi. Sakitnya hanya terasa pada benturan yang pertama.

Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Anas bin malik diceritakan bahwa:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata, ”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari)
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa rasa sakit saat mendapat musibah akan berkurang dengan berjalannya waktu. Dengan daya adaptasi yang dimiliki manusia, rasa sakitnya akan menyusut dan menghilang. Orang yang sabar adalah orang yang mampu menahan emosinya pada saat benturan pertama. Jika ia mampu tidak mencela, berteriak, mengamuk, atau membuat kerusakan lainnya pada saat terjadinya musibah maka ia akan mendapat pahala yang besar atas kesabarannya.

Rasa sakit pada benturan pertama memang sangat terasa. Namun, Allah SWT memberikan kepada manusia sifat lupa sehingga berangsur-angsur rasa itu akan hilang. Manusia akan melupakan detil kejadiannya sehingga pedihnya musibah tidak lagi dapat diingat.

Lupa, meskipun terkadang menjengkelkan, adalah nikmat yang Allah SWT berikan kepada manusia. Bayangkan seandainya manusia tidak diberikan sifat lupa, mungkin seorang ibu yang melahirkan anaknya tidak akan mau melahirkan lagi. Ia juga akan terus menangis tanpa henti karena sulit melupakan sakitnya.

Agar dapat berdaptasi, selain diberi nikmat berupa lupa, manusia juga diberi nikmat berupa rasa kebal. Ketika suatu peristiwa terjadi berulangkali, akan muncul rasa kebal sehingga efek peristiwa tersebut semakin lama semakin kecil.

Orang yang mendapat gaji saat pertama kali akan merasa sangat bahagia. Rasa bahagia itu akan berkurang jika gajinya sudah diterima secara rutin. Efek kegembiraan menerima gaji tidak lagi begitu terasa. Muncul kekebalan yang membuat peristiwa menerima gaji adalah hal yang biasa.

Begitu juga dengan kenaikan jabatan yang akan memberikan rasa gembira saat dilantik. Ketika sudah lama menjabat, muncul kekebalan yang lama-lama menjadikan jabatan tersebut adalah hal yang biasa.

Daya adaptasi yang dimiliki manusia seharusnya membuat manusia tidak terlalu khawatir dengan masa depan. Ada orang-orang yang memiliki ketakutan yang luar biasa akan masa depan sehingga kehidupannya selalu mencekam. Padahal apa yang ia takutkan, seandainya benar terjadi, akan bisa ia lewati setelah berjalannya waktu. Lagi pula belum tentu apa yang ia takutkan terjadi.

Kegelisahan muncul ketika manusia berada di persimpangan peristiwa yang akan menimpanya. Contohnya jika ia sedang dalam proses pengadilan. Hari-hari saat menunggu vonis menjadi sesuatu yang mencekam. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak.

Seandainya vonis telah dijatuhkan dan apa yang ia takutkan yaitu masuk penjara terjadi, gelisahnya akan berubah menjadi sedih. Tetapi setelah beberapa lama, sedih itu akan hilang dengan kemampuannya beradaptasi. Ia pun sudah bisa tidur dengan nyenyak. Meskipun mendapat hukuman, hidupnya lebih nyaman daripada saat menunggu vonis.

Masalah akan selalu muncul dalam kehidupan manusia. Ada manusia yang mampu mengelola masalah dengan baik, ada juga yang tidak dapat mengendalikannya. Ketika masalah datang, ada yang seakan-akan kehilangan harapan. Mereka dihantui dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Berputus asa dan kehilangan akal sehatnya. Mereka lupa bahwa manusia dikaruniai kemampuan adaptasi. Mereka ragu-ragu apakah mampu bertahan jika kemungkinan buruk yang mereka takutkan terjadi.

Pernah terjadi beberapa kasus pembunuhan terhadap anak kandung oleh orang tuanya sendiri. Ketika diperiksa, motifnya adalah masalah kemiskinan. Kasus yang mirip dengan pembunuhan bayi-bayi perempuan di jazirah arab sebelum Nabi Muhammad SAW diutus. Mereka merasa tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka tidak ingin anaknya hidup miskin sehingga memilih mengakhiri kehidupan anak-anaknya.

Padahal skenario kehidupan belum tentu berjalan seperti apa yang mereka takutkan. Banyak anak-anak yang hidup di dalam keluarga yang penuh dengan lilitan hutang, justru besarnya menjadi orang kaya raya. Seandainya ternyata anak-anak mereka hidup miskin, bisa jadi mereka tetap bahagia karena sudah beradaptasi dengan kemiskinan. Bisa jadi anak-anak mereka miskin tetapi tidak merasakan kemiskinan.

Mungkinkan ada orang miskin yang tidak merasa miskin? Perumpamaannya adalah seperti orang yang baru keluar dari toilet. Ia merasa sudah menyiram bersih toilet sehingga meyakini bahwa toiletnya sudah tidak bau. Orang berikutnya yang akan masuk toilet protes dan mengatakan bahwa orang pertama tidak bersih menyiram sehingga toilet masih berbau. Ini disebabkan orang pertama sudah terlalu lama di toilet sehingga tidak mampu merasakan aroma toilet yang berbau.

Orang-orang beriman memiliki kemampuan menghadapi masalah disebabkan keyakinan bahwa masalah yang diberikan Allah SWT pasti sesuai dengan tingkat kekuatannya. Mereka yakin daya adaptasi mereka pasti akan mencapai level masalah sesuai dengan ayat:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…(QS. Al-Baqarah ayat 286)
Orang-orang beriman juga lebih kuat menghadapi masalah karena keyakinan bahwa masalah akan berlalu. Setelah kesulitan pasti akan ditemukan kemudahan. Allah SWT berfirman:
Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyirah ayat 5-6)
Banyak masalah yang akhirnya hilang dengan sendirinya tanpa usaha. Seperti pepatah,”Biarkanlah waktu yang akan menyelesaikannya.” Ketika adaptasi berlangsung, perlahan-lahan masalah itu menghilang. Semua masalah akan hilang pada waktunya. Seperti hujan pasti akan berhenti. Tidak mungkin hujan turun terus-menerus. Tunggulah sebentar, matahari akan kembali menyapa.

Wallahu a'lam bishshowab

2 komentar

Translate