UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Jika Bisa Lebih Dini, Kenapa Menunggu Tua?


Akhirnya tiba saatnya si bungsu mengikuti jejak kakak-kakaknya pergi meninggalkan rumah. Sebagaimana Gatotkaca yang mengembleng dirinya di kawah Candradimuka, ia akan menempa dirinya di pesantren. Rasanya terlalu cepat mereka meninggalkan sarang. Masih terdengar suara khas ia dan kakak-kakaknya meramaikan suasana. Namun, kesunyian yang memang sudah diperkirakan, tentu akan tiba juga.

Sebenarnya ada opsi agar si bungsu tetap berada di rumah. Ia bisa belajar di sekolah umum yang tidak mengharuskan tinggal di asrama. Namun, di banyak kasus, hubungan mesra orang tua dan anak menjadikan beberapa program pendidikan di rumah tidak berjalan optimal. Terkadang penegakan disiplin terkalahkan dengan rasa kasihan.

Di rumah, perjanjian waktu belajar dan bermain, sengaja atau tidak sengaja sering dilanggar oleh si bungsu. Rasa tidak tega juga membuat penulis sulit untuk membangunkan anak di malam hari untuk sholat tahajud. Jangankan sholat tahajud, disuruh makan yang merupakan pekerjaan yang paling enak saja terkadang masih kalah dengan jurus “Entar”.

Selain lebih disiplin, kehidupan pesantren lebih efisien dari sisi waktu dan tenaga. Anak tidak menyia-nyiakan waktu menempuh perjalanan karena ia tinggal di asrama yang merupakan rumah sekaligus sekolah. Anak juga tidak habis waktu bermain HP karena memiliki akses yang terbatas. Karena pengajar membimbingnya dari pagi sampai malam, anak memiliki waktu lebih banyak untuk belajar agama.

Penulis sering ditanya tips yang harus dilakukan agar anak menjadi hafidz dan hafidzah. Mereka bertanya karena mengetahui beberapa anak penulis telah menyelesaikan hafalan Al-Quran. Jawabannya adalah “Kirim ke pesantren”. Suasana yang ada di pesantren akan bisa memacu kemampuan anak. Memiliki teman berlari akan membuat anak terpicu untuk terus berlari.

Memang penggerak utama bagi seseorang untuk menggapai cita-cita adalah motivasi. Namun, meskipun anak telah termotivasi, jika tidak didukung sistem yang disiplin seperti pesantren, sulit untuk mengawal anak menghafalkan kitab Al-Quran yang memiliki ketebalan enam ratus halaman lebih. Apalagi mereka juga harus mempelajari ilmu-ilmu lain yang diajarkan di sekolah umum.

Posisi sebagai ASN yang harus siap dimutasi setiap saat juga menjadi sebab penulis memutuskan menyekolahkan anak-anak di pesantren. Anak yang berpindah-pindah sekolah karena mengikuti mutasi orangtua, akan terganggu proses belajarnya. Apalagi sebagai anak baru pindah, biasanya anak akan rawan dibully karena belum memiliki teman.

Saat pulang mengantar bungsu ke asramanya, sopir yang membawa kami mengatakan bahwa sebenarnya istrinya juga ingin mengirim anak ke pesantren. Anaknya juga ingin masuk ke pesantren. Tetapi ia masih berat untuk berpisah dengan anaknya. Ia memiliki kesempatan yang langka dan tidak dimiliki oleh semua ayah tetapi ia tidak menggunakannya. Tidak semua anak menyatakan ingin hidup di pesantren.

Saat prosesi menitipkan anak ke pesantren, biasanya anak dan orang tua sama-sama menahan air mata. Mereka tidak ingin terlihat sedih untuk saling menguatkan. Jangankan melihat air mata anak sendiri, melihat air mata anak orang lain saja bisa membuat mata berkaca-kaca. Apalagi jika si anak terlihat berusaha tersenyum tetapi air matanya terus mengalir.

Ketika mengantar bungsu ke pesantren, ada anak yang diantar keluarga besarnya. Kakek, nenek, om, tante serta dua adiknya ikut serta. Sebenarnya anaknya tegar. Tiba-tiba salah seorang pengantar menangis. Tangisan yang menular ke anggota keluarganya lainnya. Akhirnya karena para pengantar menangis, si anak pun ikut menangis. Siapa suruh mengantar beramai-ramai.

Beratnya untuk berpisah dengan anak membuat beberapa orang tua menunda mengirim anaknya ke pesantren. Beberapa kakak si bungsu juga baru masuk pesantren setelah lulus SMP. Namun, karena si bungsu telah menyatakan keinginannya masuk pesantren, maka prinsip “Lebih cepat, lebih baik” harus dilaksanakan.

Salah satu metode setan untuk menggagalkan perbuatan baik adalah dengan membisikkanya untuk menunda-nunda. Dengan menunda beramal, setan memiliki waktu tambahan untuk menggoda agar membatalkan keputusan.

Menunda juga bisa menyebabkan hilangnya kesempatan. Segala sesuatu yang menghambat dapat terjadi. Kesempatan hilang karena situasi dan kondisi sudah tidak lagi mendukung.

Belajar agama adalah hal yang perlu dilakukan sedini mungkin. Agama adalah ajaran yang harus dipraktekkan selama hidup. Jika seseorang baru menyadari adanya kesalahan pada usia empat puluh tahun, berarti ia telah menjalani berpuluh-puluh tahun umurnya dengan tidak maksimal. Betapa banyak kerugian yang ia dapatkan.

Banyak yang baru berpikir belajar agama di saat usia sudah lanjut. Setelah berpuluh-puluh tahun mengejar dunia, mereka mulai menyadari bahwa sumber kebahagiaan bukan hanya kesuksesan dunia. Mereka mulai memahami bahwa hati yang bersih dan rahmat dari Allah SWT justru merupakan kunci kebahagiaan yang utama.

Mengejar dunia tidak akan ada ujungnya. Nabi bersabda:
Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Anak-anak yang memiliki bekal agama akan mengetahui cara mengelola hati mereka. Mereka mampu mengelola hati dengan baik sehingga mereka tidak akan mudah stres dengan ujian kehidupan. Mereka juga akan lebih mudah berbahagia. Itu sebabnya orang tua yang peduli akan bekal agama anak-anaknya disebut orang tua yang cerdas. Bukankah tujuan orang tua ingin membahagiakan anak-anaknya

Lalu bagaimana dengan orang tua yang lupa memberi bekal agama dan mengajari anaknya untuk fokus mengejar dunia? Masih ada kesempatan. Bukankah masa belajar terentang sejak dari ayunan sampai liang lahad? Selama jantung masih berdetak, maka kesempatan masih terbuka.

Terlambat mungkin iya, tetapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Betapa banyak para ulama yang memulai kehidupan barunya di usia yang sudah tidak belia. Mereka baru belajar agama ketika sudah lanjut usia.

Saat mengikuti training Al-Quran, penulis mendengar seorang trainer bercerita tentang nenek-nenek yang luar biasa. Nenek tersebut datang kepadanya karena ingin belajar membaca Al-Quran. Setelah mampu membaca, nenek tersebut mulai menghafal Al-Quran dengan intensif.

Nenek tersebut berdoa agar Allah SWT memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menghafal Al-Quran sebelum tiada. Akhirnya nenek tersebut berhasil menyelesaikan hafalannya. Tiga hari setelah menyelesaikan hafalannya, nenek tersebut meninggal dunia.

Belajar di usia tua memang tidak akan secepat mereka yang berusia muda. Ada satpam yang baru menghafal Al-Quran di usia enam puluh tahun. Ia baru menyelesaikannya setelah berusia tujuh puluh tahun. Ia membutuhkan waktu sepuluh tahun.

Satpam tersebut tidak secepat anak-anak muda yang bisa menyelesaikan hafalan Al-Quran dalam waktu singkat. Ia tahu ia membutuhkan waktu yang lama untuk menghafal Al-Quran. Namun ia tetap berusaha menghafal Al-Quran. Bukankah umur di tangan Allah SWT?

Jika ada orang berumur lima puluhan tahun mengatakan bahwa ia tidak sempat lagi menghafal Al-Quran karena sudah tua, dari mana ia tahu batas umurnya? Mungkin ia mengira batas usianya enam puluhan tahun. Ia mengira umurnya tinggal sepuluh tahunan lagi. Bagaimana kalau ternyata ia hidup sampai umur delapan puluh tahun? Bukankah masih ada waktu tiga puluh tahun?

Salah seorang sahabat penulis membuat program belajar agama untuk orang-orang yang lanjut usia. Ia menyebutnya Pesantren Taman Surga, meskipun programnya hanya untuk beberapa hari saja. Namun, bisa jadi hari-hari tersebut akan menjadi hari-hari yang paling berharga buat mereka. Hari-hari menjadi santri yang memberikan pencerahan dalam kehidupan mereka. Memang tidak ada kata terlambat, tetapi jika bisa menjadi santri lebih dini, kenapa harus menunggu tua?

Wallahu a'lam bishshowab

1 komentar

  1. Luar biasa tadz. Tak ada waktu yg tersisa kecuali untuk ibadah mencari rahmat-Nya

    BalasHapus
Translate