UXGwYckfCgmqHszQE5iamiTBKMiIQBNym46UNkvU
Lembar Nasihat

Biarkan Ia Membentangkan Sayapnya

  


Suatu hari putra penulis menceritakan tentang temannya yang mengalami ujian yang berat. Temannya memperoleh beasiswa karena telah selesai menghafal Al-Quran. Beasiswa untuk belajar di negara Turki. Tahun pertama ia berada di sana ayahnya meninggal dunia. Tentu saja ini sangat memukul perasaannya. Rentang jarak yang jauh antara benua Eropa dan Asia membuatnya tidak pulang dan terus melanjutkan menuntut ilmu.

Ternyata dua bulan setelah kepergian ayahnya, ibunya menyusul meninggal dunia. Kepergian ibunya tentu menjadi pukulan kedua yang lebih hebat. Saat kepergian ayahnya, ia masih memiliki ibu yang ia harapkan akan menyambutnya. Kini ia tidak memiliki orang tua lagi untuk ia tunjukan ijazah kelulusannya. Tidak ada lagi wajah yang ingin ia bahagiakan.

Kisah wafatnya orang tua saat seorang anak sedang menuntut ilmu sering terjadi. Banyak yang kasihan dan turut merasakan kesedihan yang yang dialami anak. Terpisahnya anak dengan orang tuanya selalu memberikan rasa kesedihan. Namun, pernahkan terpikirkan, manakah yang lebih dahsyat antara kesedihan hati anak ataukah keperihan hati orang tuanya ketika mereka terpisah?

Seperti kata pepatah, “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah (tongkat).” Kasih anak sulit mengalahkan kasih ibu karena para ibu melihat mereka sejak dilahirkan. Melihat tangisannya, mendengarnya seruannya, dan menikmati kemanjaannya. Jika ada makanan yang enak, maka yang terpikir pertama kali di dalam benak ibunya adalah ingin menyisihkannya untuk anaknya. Para ibu rela untuk menderita lapar dan letih agar anaknya bisa tertidur dengan pulas.

Perginya anak dari dekapan mereka membuat hari-hari terasa berbeda. Tiba-tiba mutiara yang selama ini mereka peluk, cium, dan belai telah dewasa dan harus membentangkan sayapnya. Tidak semua orang tua sanggup melepaskan anaknya untuk pergi menuntut ilmu. Jangankan mengirimnya ke luar pulau, ke pesantren yang berada dalam satu kota pun tidak tega. “Nanti kalau sakit gimana? Kalau diganggu temannya gimana?” Mereka membayangkan anaknya mengalami banyak kesulitan dan penderitaan di luar sana.

Saat berbicara dengan teman terkait pendidikan anak, beberapa teman penulis mengatakan sebenarnya mereka ingin mengirim anaknya ke pesantren agar lebih mandiri. Mereka tahu di pesantren jadwal belajar anak lebih disiplin. Waktu anak tidak akan dihabiskan untuk main game atau menonton tivi. Anak berlatih menyiapkan sendiri kebutuhan mereka. Anak juga berlatih memecahkan masalah kehidupan secara mandiri. Alasan yang disampaikan adalah, “Ibunya nggak tega, jadinya batal.” Sebenarnya ibunya yang nggak tega atau jangan-jangan bapaknya juga?

Proses tidak tega dimulai dengan ucapan anak bahwa mereka sebenar ingin tetap berada di rumah. Mereka janji akan lebih disiplin dengan waktu meskipun berada di rumah. Setelah anak merengek-rengek, ibunya mulai tidak tega dan memberikan masukan kepada ayahnya. Melihat istrinya mulai ragu, maka ayah yang sebenarnya juga tidak tega mempunyai alasan untuk membatalkan rencananya.

Besarnya peranan orang tua dalam menentukan pendidikan anak membuat mereka pun mendapat imbalan atas keberhasilan anak dalam belajar. Hal ini tergambar dari hadits Nabi Muhammad SAW tentang seseorang yang belajar Al-Quran:
"Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan Al-Quran.” (HR. Hakim)"

Banyak anak yang merasa bahwa dirinya dibuang dari rumah dengan dikirim ke pesantren. Mereka mengira orang tua tidak mau repot dengan dirinya sehingga mereka harus hidup sulit di pesantren. Sesungguhnya orang tua mereka pun memiliki kesulitan yang sama. Mengirim anak ke tempat pendidikan terbaik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Orang tua juga repot karena harus datang menjenguk.

Dalam kisah teman anak penulis di atas, bayangkan bagaimana perasaan ibunya ketika kehilangan suaminya. Jauh dari putranya sudah membuat hatinya gelisah. Apalagi saat ia harus melepas suaminya sendirian. Rentang kematiannya yang tidak jauh dari meninggalnya suami bisa jadi menjadi indikator beratnya penderitaan yang ia rasakan.

Orang tua yang mengirimkan anaknya untuk menuntut ilmu selalu berusaha mencari tahu kondisi anaknya. Mereka berusaha menghilangkan kesulitan atau mengurangi bebannya. Namun, mereka berusaha menutupi kesulitan yang mereka alami agar anaknya tidak terganggu dalam belajar. Bahkan anak tidak boleh tahu meskipun orang tuanya sedang sakit.

Ulama-ulama besar banyak yang memiliki orang tua yang luar biasa. Mereka memilih mengorbankan perasaannya untuk menjadikan anaknya sebagai orang besar. Lihatlah Ummu Sulaim yang meminta kepada Nabi Muhammad SAW agar anaknya Anas bin Malik tinggal di rumah Nabi. Ia mengatakan bahwa Anas bin Malik akan menjadi khadim (pembantu) di rumah Nabi. Ia menghadiahkan Anas bin Malik untuk melayani Nabi.

Rumah Rasulullah SAW adalah pesantren terbaik di dunia. Ali bin Abi Thalib, Aisyah binti Abu Bakar, Fatimah binti Muhammad, dan Zaid bin Haritsah adalah contoh alumni-alumninya. Anas bin Malik yang dititipkan oleh ibunya untuk menjadi pembantu di rumah Nabi menjadi periwayat hadits. Ia termasuk yang paling banyak menyampaikan hadits Nabi setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.

Imam Syafi’i beruntung memiliki ibu yang luar biasa. Ibunya menjadi orang tua tunggal setelah suaminya meninggal saat Imam Syafi’i berusia dua tahun. Meskipun membesarkan anaknya seorang diri, ia tidak menjadi lemah. Kehilangan suami adalah hal yang berat. Sebenarnya ia tentu membutuhkan Syafi’i untuk menemani hidupnya. Namun ia memutuskan mengantarkan anaknya sejauh ribuan kilometer ke kota Mekkah untuk belajar kepada Imam Malik.

Ulama besar yang juga hasil dari pengorbanan ibu adalah Imam Bukhori. Ibunya mengantarkan dirinya dari kota Bukhoro ke kota Mekkah. Meskipun berat, tetapi sayap anaknya harus terbentang agar ia bisa terbang tinggi. Rasa perih yang ia dapatkan berbuah manis. Saat ini, setiap orang yang belajar hadits, pasti akan mempelajari kitab hadits yang ditulis oleh Imam Bukhori.

Perpisahan karena menuntut ilmu terasa menyakitkan. Namun jika perpisahan sementara tersebut dilakukan untuk memberi jaminan agar dapat berkumpul selama-lamanya di akhirat maka perpisahan tersebut adalah usaha yang layak dilakukan. Sungguh ironis sekali jika sebuah keluarga berkumpul di dunia tetapi terpisah di akhirat.

Imam Syafi’i berkata, “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan.” Kalimat tersebut tentu ditujukan kepada para penuntut ilmu. Dari kalimat tersebut dapat diqiyaskan menjadi “Orang tua yang tidak mampu menahan sedihnya mengirim anak menuntut ilmu, maka ia harus mampu menahan perihnya perasaan melihat anaknya tidak menggapai kesuksesan.”

Memang tidak semua usaha mencari pendidikan terbaik harus pergi jauh. Ada anak-anak yang beruntung yang tinggal di dekat sekolah-sekolah terbaik. Namun, mereka yang harus berpetualang, mendapatkan keuntungan tambahan berupa pendidikan ketangguhan. Itulah sebabnya banyak anak-anak pemilik pesantren yang belajar bukan di pesantren milik orang tuanya. Mereka justru dikirim ke pesantren lain untuk melatih kemandiriannya. Agar mereka tidak bergantung kepada orang tuanya.

Anak-anak yang berkelana tidak bisa meminta bantuan orang tuanya ketika mereka mendapatkan ketidaknyamanan. Kalau dulu cukup dengan menengadahkan tangan maka uluran bantuan segera datang. Kini mereka harus berjuang mandiri untuk menghilangkan ketidaknyamanan tersebut. Jika mereka tidak mampu menghilangkannya, maka mereka akan belajar untuk dapat menerimanya. Ini akan melatih kemampuannya untuk bersabar.

Kehidupan pesantren memang ada dukanya. Namun sukanya juga tidak sedikit, terutama ketika mereka telah menemukan polanya. Suka dan duka kehidupan pesantren bisa didapatkan dari buku-buku yang bercerita tentang pesantren. Buku-buku ini bisa memotivasi anak untuk belajar di pesantren. Di antaranya yang terkenal adalah novel Negeri Lima Menara.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Translate